NAMA : HUSNIA ALFAINI
KELAS : 3EA10
NPM : 10208600
MATA KULIAH : KLKP
Kebijakan BI dalamLDR (Loan to Deposit Ratio )
Kebijakan mengaitkan loan to deposit ratio (LDR) dengan giro wajib minimum (GWM) masih berada di persimpangan jalan. Beberapa bankir masih silang pendapat. Ada yang pro dengan kebijakan Bank Indonesia (BI) tersebut, banyak pula yang masih memperdebatkan kebijakan tersebut, atau dalam kata sederhana, tidak setuju. Soalnya, terletak pada tata cara penghitungan LDR itu sendiri.
Yang pro—dalam hal ini para bankir—terhadap kebijakan BI adalah mereka yang tetap pada pengertian loan atau kredit, seberapa besar bank menyalurkan kredit ke sektor riil atau dalam hal ini benar-benar menjalankan fungsi intermediasi. Bank menyalurkan kredit kepada dunia usaha dalam bentuk kredit.
Sementara, sebagian besar bankir menyebutkan bahwa penghitungan LDR bisa memasukkan unsur surat-surat berharga (SSB). Alasannya, toh bank menyalurkan kredit secara tidak langsung, karena membeli obligasi korporasi yang pada akhirnya untuk mengembangkan usaha.
Kedua pendapat itu sama-sama dapat diterima karena kebijakan BI memang ditekankan agar bank-bank giat menyalurkan kredit. Kelebihan likuiditas bank-bank tidak “disekolahkan” di BI dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Di sisi lain, bank-bank yang kurang sependapat tidak kehilangan keuntungan jika SSB tidak dihitung dalam LDR, karena harus lebih banyak menempatkan likuiditasnya dalam bentuk GWM.
Selama tiga bulan pertama tahun ini, persoalan mendasar yang dialami perbankan nasional adalah mandeknya fungsi intermediasi. Selama satu tahun terakhir, kredit hanya tumbuh 11%, bahkan dibandingkan dengan akhir 2009 terjadi penurunan outstanding kredit.
Suku bunga sudah diturunkan, tapi laju kredit masih lebih rendah daripada laju pertumbuhan dana. Akibatnya, kredit yang ditargetkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tidak akan tercapai. Untuk menopang pertumbuhan ekonomi 5,8% setidaknya dibutuhkan pertumbuhan kredit 22% sampai dengan 25%.
Itulah peran perbankan dalam mendorong pertumbuhan kredit. Nah, kalau tidak ada kebijakan insentif yang mendorong perbankan, diperkirakan pertumbuhan kredit hanya sebatas angka-angka proyeksi. Jadi, kebijakan Kebon Sirih (BI) itu penting untuk didukung, namun tentunya perlu kompromi dengan kalangan perbankan.
Alasannya bukan karena bank-bank pelit memberikan kredit kepada dunia usaha, melainkan karena dunia usaha sendiri yang tidak mengambil kredit yang sudah cair. Angka kredit yang tidak dicairkan (undisbursed loan) terus mendaki dalam kurun waktu empat tahun terakhir, bahkan hingga lima kali. Posisi terakhir mencapai Rp500 triliun.
Angka kredit boleh saja berjalan lambat, tapi rapor bank tetap berkilau. Itulah gaya khas perbankan Indonesia. Ekspansi kredit rendah, tapi tingkat keuntungan tinggi. Sebagai bank yang berfungsi memberikan kredit, tentu laba akan terganggu. Nah, karena margin bank masih lebar—karena sifat sektor yang dibiayai tahan suku bunga (sektor konsumsi)—pendapatan bunga bank masih tetap besar.
Rapor tiga bulanan bank-bank di Indonesia menunjukkan prestasi yang meningkat dibandingkan dengan periode sebelumnya. Ada kenaikan laba yang yang luar biasa tajamnya. Bank-bank besar mencatat laba yang lebih baik daripada tahun sebelumnya. Bank-bank itu adalah Bank Mandiri, Bank Danamon, Bank Rakyat Indonesia (BRI) serta Bank Negara Indonesia (BNI).
Tidak hanya bank-bank itu, tapi juga bank-bank di bawahnya. Perolehan laba itu lebih banyak disebabkan oleh kemampuan bank dalam meningkatkan pendapatan bunga dan pendapatan nonoperasional.
Hal ini bisa jadi karena pada periode ini terjadi penurunan cost of loanable funds. Tidak seperti pada 2009, yang situasinya seperti sedang terbakar akibat efek krisis keuangan global. Likuiditas mengetat dan terjadi migrasi dana ke bank-bank yang dinilai lebih baik dan kokoh akibat efek bencana keuangan.
Bicara soal dana pihak ketiga (DPK) tentu tidak bisa lepas dari pengalaman nasabah Bank IFI, yang nasibnya masih terkatung-katung karena menerima imbalan lebih besar dari ketentuan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Perdebatan menyangkut bunga yang dijamin LPS menjadi pembicaraan menarik karena terjadi pro dan kontra mengenai pemberian voucher atau hadiah dalam penghitungan suku bunga.
Dalam pandangan umum, sepanjang bank menetapkan suku bunga di atas penjaminan, dana di atas Rp2 miliar tidak diganti kalau bank ditutup. Nah, dalam konteks bank yang masih hidup, praktik-praktik pemberian voucher, hadiah, maupun suku bunga di atas penjaminan, tentu risiko berada pada pemilik karena yang dijamin adalah Rp2 miliar dan sisanya ditanggung pemilik bank bersangkutan.
Untuk itu, dalam beleid baru nanti, apakah voucher, cash back ataupun barang yang diberikan secara langsung kepada nasabah, baik pada awal maupun ketika jatuh tempo, perlu lebih ditegaskan dari awal dengan sosialisasi yang baik. Jangan sampai, nanti akan mengalami masalah seperti nasabah Bank IFI.
Apa pun kebijakan voucher yang akan keluar nanti, yang pasti perlu sosialisasi yang baik, dan bank-bank yang menetapkan serta memberikan voucher atau kebijakan lain tetap tergantung banknya—dan juga tergantung nasabahnya.
Jika nasabahnya secara sadar, tentu menjadi risiko nasabah bersangkutan. Sepanjang bank masih hidup, maka kebijakan pemberian voucher sebagai upaya mempertahankan likuiditas dengan risiko yang harus diketahui nasabah.
Hal yang sama berlaku pada kebijakan mengaitkan LDR ideal (85%) dengan GWM, yang merupakan langkah yang baik. Namun, pemberian kredit bukan semata-mata menyebar uang ke dunia usaha secara jorjoran. Sebab, pemberian kredit yang serampangan juga akan menghasilkan kredit bermasalah (non performing loan atau NPL).
Hanya, masalahnya sekarang, siapkah bank-bank menghadapi beleid baru ini kalau toh persoalan sebenarnya ada di dunia usaha, bukan di sektor perbankan. Angka kredit yang tidak dicairkan di atas adalah cermin dari rendahnya daya serap kredit oleh dunia usaha.
Sementara, ide pembelian SSB (obligasi korporasi) dimasukkan dalam penghitungan LDR, kendati sulit diterima, patut digarisbawahi—karena pembelian obligasi korporasi juga secara tidak langsung mendorong dunia usaha. Apalagi, sangatlah tidak mungkin bank tidak mau memberikan kredit karena margin kredit masih lebih besar daripada surat berharga.
BI dan kalangan perbankan perlu menempuh jalan kompromi yang saling memahami peran masing-masing. Sebab, semua kebijakan itu membawa konsekuensi bagi bank yang rendah LDR-nya dan juga bagi bank yang sangat tinggi LDR-nya.
Bank Indonesia (BI) telah mengumumkan kriteria bank jangkar (anchor bank). Dengan pengumuman tersebut, BI berharap akan memperoleh bank jangkar yang dapat menjalankan perannya, melakukan program merger dan akusisi terhadap bank-bank yang memiliki daya saing rendah, khususnya permodalannya. Dengan demikian dapat terbentuk sistem perbankan nasional yang sehat, kuat, dan berdaya saing tinggi. Pertanyaannya, apakah kriteria bank jangkar ala BI mampu membentuk bank jangkar yang dapat menjalankan perannya?
Tentu masih segar ingatan kita ketika Gubernur BI Burhanuddin Abdullah dan para pembantunya sering mengeluarkan pernyataan bahwa kriteria bank jangkar terdiri dari kriteria kuantitatif dan kriteria kualitatif. Kalangan pelaku perbankan dan pengamat perbankan pun tidak keberatan dengan kriteria bank jangkar yang dilontarkan oleh BI tersebut. Malahan beberapa pengamat perbankan memberikan rekomendasi yang komprehensif mengenai kriteria bank jangkar, baik dari sisi kriteria kuantitatif maupun kriteria kualitatif.
Dari kriteria kualitatif bank jangkar yang diumumkan BI ternyata tidak secara eksplisit atau tegas ditentukan oleh BI. Memang, ada kriteria kualitatif yang diumumkan, yakni kriteria menjadi perusahaan publik dalam waktu dekat dan memiliki kemampuan konsolidator. Khususnya kriteria menjadi perusahaan publik memang memang tegas dijelaskan, tetapi belum cukup mewakili kriteria kualitatif menjadi bank jangkar.
Kriteria "memiliki kemampuan konsolidator" memang pas mewakili kriteria kualitatif sebagai bank jangkar. Sayangnya, BI tidak menjelaskan secara rinci makna "kriteria mampu menjadi konsolidator". Dengan tidak jelasnya pengertian ini tentu menimbulkan kebingungan dan mendatangkan multi-tafsir di kalangan pelaku perbankan dan perbankan.
Untuk itulah, BI secepatnya perlu menambahkan lagi penentuan kriteria kualitatif menjadi bank jangkar, khususnya "kriteria mampu menjadi konsolidator". Ini penting supaya kalangan pelaku perbankan dapat mempersiapkan pemenuhan kriteria kualitatif tersebut. Di samping untuk menghindari tuduhan untuk memojokkan bank tertentu atau untuk memudahkan bank tertentu memperoleh status bank jangkar.
Jadi, BI sebaiknya menyerap rekomendasi kriteria kualitatif dari pengamat dan pelaku perbankan nasional tersebut serta mencocokkan dengan kajiannya mengenai kriteria kualitatif. Setelah itu, BI perlu mengumumkan lagi secara tegas kriteria kualitatif menjadi bank jangkar.
Dalam kriteria bank jangkar yang diumumkan, BI memasukkan juga fungsi intermediasi perbankan. Yakni, memiliki rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan deposit ratio/LDR) minimal 50 persen dan pertumbuhan kredit mencapai 22 persen.
Bagi penulis, memasukkan fungsi intermediasi perbankan menjadi kriteria bank jangkar adalah tidak relevan. Karena, permasalahan mandeknya fungsi intermediasi perbankan nasional sangat berbeda dengan permasalahan penentuan kriteria bank jangkar, termasuk juga dalam menyelesaikannya.
Dalam menentukan kriteria bank jangkar perlu difokuskan pada faktor-faktor apa yang membuat sebuah bank sehat dan kuat, khususnya dari sisi perhitungan kuantitatifnya. Kemudian, seberapa kuat daya saing sebuah bank, khususnya dari sisi keunggulannya (kualitatif) di industri perbankan nasional. Jadi, tanpa mengucurkan kreditnya dalam jumlah besar pun, bisa saja sebuah bank sehat, kuat, dan berdaya saing. Contohnya, BCA dengan LDR 32,42 persen, BII sebesar 49,11 persen, Lippo sebesar 24,71 persen, dan Bank Mega 48,70 persen.
Sedangkan permasalahan fungsi intermediasi perbankan adalah bagaimana mendorong perbankan supaya lebih berani mengucurkan kreditnya. Kebijakan yang perlu diambil antara lain mengimbau moral (moral suasition) pelaku perbankan, memantau perkembangan pengucuran kredit perbankan, menurunkan suku bunga kredit perbankan, dan membenahi kondisi sektor riil kita dan lain-lain. Jadi, untuk meningkatkan fungsi intermediasi perbankan, maka tidak perlu mengaitkannya dengan kriteria bank jangkar.
Masih rendahnya LDR beberapa bank, khususnya bank-bank rekap, bukan berarti bank rekap tersebut tidak mengucurkan kredit dengan wajar. Tetapi, karena sebagian besar kredit (bermasalah) yang dimiliki bank tersebut, sebesar Rp 460 triliun, ditukar dengan obligasi rekap pemerintah dalam rangka penyehatan bank rekap tersebut. Dengan demikian, otomatis LDR bank rekap tersebut menurun secara drastis.
Untuk mengakomodasi kinerja kredit perbankan nasional terhadap kriteria bank jangkar, penulis setuju BI memasukkan indikator kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) netto di bawah 5 persen menjadi kriteria bank jangkar. Dengan NPL di bawah 5 persen, perbankan tidak terlalu repot mengelola kredit bermasalahnya. Sehingga, NPL tersebut tidak memengaruhi kinerja dan daya saing bank tersebut.
Kriteria bank jangkar mengenai modal bank sungguh mengejutkan juga, yang hanya membutuhkan CAR bank sebesar 12 persen dan modal inti minimum 6 persen. Dan, tidak meminta bank jangkar untuk menyediakan nominal modal bank yang cukup besar. Secara logika, dengan BI tidak membuat nominal modal menjadi kriteria bank jangkar, maka sebuah bank dengan modal sebesar Rp 100 miliar dapat menjadi bank jangkar.
Padahal, sebelum kriteria bank jangkar ini diumumkan, sudah banyak pihak setuju bahwa sebuah bank harus memiliki modal yang besar dan kuat untuk menjadi bank jangkar, supaya mampu menjalankan perannya, melakukan program merger dan akusisi. Malah ada beberapa pihak setuju bahwa modal bank jangkar sebaiknya Rp 1 triliun. Dengan demikian, bank jangkar dapat meng-handle semua risiko merger atau akusisi sekaligus dapat berkembang lebih besar lagi.
Dengan modal bank yang tidak begitu besar, misalnya, hanya Rp 100 miliar, apa yang dapat dilakukan sebuah bank untuk mengembangkan banknya dan menghadapi persaingan di industri perbankan, serta meng-handle semua risiko bank, mulai dari risiko kredit, risiko pasar, hingga risiko operasional-nya? Tentu tidak banyak yang dapat dilakukan bank tersebut.
Karena itu, BI perlu menetapkan nominal modal bank yang cukup signifikan, misalnya, sebesar Rp 400 miliar - Rp 600 miliar, sebagai syarat bagi kriteria sebuah bank jangkar. Dengan demikian bank jangkar akan dapat menjawab tantangan dunia perbankan di masa depan, termasuk menanggung berbagai risiko perbankan.
Terakhir, BI memang tepat memberlakukan indikator Return of Asset (ROA) bank menjadi salah satu kriteria bank jangkar. Dengan memiliki ROA sebesar 1,5 persen, sudah cukup membuktikan bahwa bank jangkar tersebut dapat menghasilkan pendapatan untuk dapat melanjutkan bisnisnya. Bila tidak berhasil, risiko terjadi penurunan kinerja bank jangkar akan sangat besar dan program merger atau akusisi bank jangkar dapat saja gagal.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar